Di masa kolonial, julukan ‘Paris Van East Java’ bagi kota Malang memiliki sejumlah alasan. Kota berkontur yang dikelilingi sejumlah gunung, diantaranya Gunung Arjuno di sebelah utara, Semeru di timur, Kawi dan Panderman di barat, serta Kelud di selatan ini memiliki lanskap dan tata kota yang dirancang sebagai kota modern pada zamannya.
Kini, kekayaan arsitektural maupun warisan budaya tak benda kota Malang menjadikan kota seluas 111,1 km² ini menjadi destinasi alternatif bagi wisatawan domestik dan mancanegara.

Pesona Kampung Kayutangan
Tersembunyi di balik pertokoan dan gedung-gedung tua, keberadaan kampung di kawasan Kajoetangan (Kayutangan) Malang, Jawa Timur ini telah menjadi perhatian bagi pelancong yang menginginkan perjalanan melintasi jejak masa lalu. Sejak ditetapkan sebagai Kampung Heritage, pesona kawasan ini makin akrab di telinga wisatawan domestik maupun asing penggemar wisata heritage.
Kampung Taloen Lor, adalah salah satu koridor yang mengantar Anda ke dalam labirin kampung tua Kayutangan, sebuah tempat yang memelihara nuansa masa lalu yang autentik. Terletak di RW 10, Klojen, Malang, kampung ini seperti menjelma menjadi portal waktu yang membawa Anda kembali ke kejayaan arsitektural era lampau.

Setiap sudut kampung Kayutangan menyimpan cerita. Rumah tinggal yang dibangun pada era 1920an hingga 1950an masih berdiri kokoh, dengan struktur dan desain khas. Menapaki jalan-jalan sempit di antara rumah-rumah berdinding tebal dan pagar tembok setengah badan orang dewasa, Anda akan merasakan pesona kehidupan masa lalu yang begitu nyata.
Bagi generasi masa kini, bangunan lama yang terawat adalah tempat pilihan untuk sekadar merekam diri atau berfoto bersama. Sementara itu bagi wisatawan pecinta arsitektur dan sejarah, kunjungan ke Kampung Kayutangan adalah sebuah pesta visual. Desain-desain bangunan yang autentik, dipadukan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, memberikan pengalaman yang tak terlupakan tentang bagaimana orang-orang dahulu menjalani kehidupan mereka.

‘Hamur Mbah Ndut’, sebutan sebuah rumah tinggal yang dibangun pada 1923 menjadi salah satu riwayat kejayaan ekonomi warga yang tinggal di kampung Kayutangan. Generasi ke-4 pemilik rumah ini masih merawat dengan baik bangunan yang didirikan kakek buyut mereka yang kala itu adalah pemilik istal kuda dan persewaan bendi. Duduk di ruang tamu ‘Hamur Mbah Ndut’ seperti pulang ke rumah orang tua. Kepingan masa lalu perlahan tersusun saat memperhatikan lemari kayu jati dengan deretan cangkir-cangkir cantik yang membangkitkan kerinduan menikmati teh bersama keluarga.
Nuansa khas rumah lama menyeruak di antara aroma harum kopi arabika yang disajikan di ruang tamu rumah mungil ini. Pengunjung tak hanya bisa memandangi secara seksama setiap sudut bangunannya. Sebuah kedai kecil di samping rumah utama menawarkan masakan rumahan hingga kopi kekinian untuk Anda. Lalu, berdialog dengan pemilik rumah adalah pengalaman lain yang jarang Anda dapatkan di tempat wisata artifisial.
Perkembangan kawasan Kayutangan tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah kolonial yang menjadikan daerah ini sebagai pusat pertokoan modern di awal abad ke-20. Kawasan ini mulai ramai ketika Herman Thomas Karsten, arsitek Belanda, menangani konsep tata kota Gemeente Malang.
Karsten mulai tahun 1917 mengembangkan kota Malang sebagai City Garden, kota yang berada dalam taman dengan pemandangan dikelilingi pegunungan yang indah. Dari konsep tersebut ia membangun pusat pertokoan modern yang didominasi oleh permukiman dan bangunan bergaya arsitektur Nieuwe Bouwen di sepanjang Jalan Kayutangan dan Jalan Kawi. Sebuah konsep arsitektur gaya baru mewah yang memadukan warna putih, hitam dan abu-abu dengan gaya bangunan yang simetris.
Kawasan Pemberdayaan Warga
Kampung Kayutangan yang ditetapkan sebagai kampung heritage pada tahun 2018 terus mengupayakan pemberdayaan dan pengembangan usaha kecil menengah. Warga mulai dengan membuka kedai-kedai tradisional yang menyajikan makanan dan minuman khas, sambil mempertahankan nuansa klasik rumah tinggalnya.

Sebagai upaya berkelanjutan untuk pelestarian kawasan heritage dengan koleksi 23 rumah kuno, pengunjung dapat mendukung warga kampung dengan membayar tiket masuk senilai Rp.5 ribu rupiah. Sebagai penanda, pengunjung mendapat sebuah kartu pos bergambar bangunan ikonik kampung Kayutangan yang masih menyimpan kekayaan arsitektur ‘art deco’ (1920-1930) dan ‘Jengki’, arsitektur khas suburbia yang populer paska kemerdekaan Indonesia pada 1950-1970.
Wisata Kuliner di Pasar Tua
Memasuki Pasar tradisional Oro-Oro Dowo, sekitar 2,7 kilometer dari kawasan Kayutangan, pandangan tersita pada tembok bagian bawah pasar dengan sentuhan khas batu alam yang menyiratkan kekokohan bangunan. Kios-kios dengan etalase kayu di beberapa tempat melengkapi ciri khas pasar tradisional yang dibangun pada 1932 ini.

Kesan bangunan tua memang cukup kuat di bagian luar. Bagian dalam pasar yang telah direvitalisasi pada tahun 2015 ini membawa nuansa lain. Langit-langit yang tinggi dengan ventilasi di sejumlah sudut mengurangi rasa gerah di dalam pasar. Lantai pasar yang kering dan bersih menambah kenyamanan saat berbelanja.
Seperti pasar tradisional lainnya, pasar seluas 3.400 m² ini terdiri dari beberapa blok yang menyediakan bahan pangam seperti sayuran, daging dan rempah-rempah. Paska revitalisasi, pasar di Jalan Jl. Guntur No.20, Oro-oro Dowo, Kecamatan Klojen, Kota Malang ini berevolusi menjadi destinasi baru penggemar kuliner tradisional.
Minat warga kota dan wisatawan domestik cukup tinggi, terutama di akhir pekan. Anda harus cukup sabar mengantre untuk sekotak kue lumpur kentang atau sebungkus bakso goreng populer di tempat ini. Maka disarankan datang sebelum jam 8 pagi untuk menghindari antrean panjang di beberapa titik jajanan favorit.

Kebersihan pasar yang terjaga sangat baik membuat pengunjung tetap nyaman untuk makan di tempat. Apalagi, belanjaan tetap aman ditempatkan di troli yang disediakan oleh pengelola pasar. Di bagian dalam, nyaris tak tercium bau khas pasar. Anda bisa makan dengan nyaman bersama keluarga di lapak mie ayam khas Malang, atau di bagian luar pasar yang menyediakan ‘nasi buk’ OOD, kuliner tradisional khas Madura yang gurih dan pedas.

Puas antre jajajan tradisional seperti klepon, onde-onde, risol dan pastel di dalam pasar, pengunjung bisa berjalan di bagian depan pasar untuk berburu makanan lainnya seperti rujak cingur, pecel, gudeg hingga soto banjar. Jika Anda penggemar kopi, ada toko kopi Panca yang menyediakan aneka bean berbasis robusta, arabika dan excelsa. Di toko kopi yang telah buka sejak 30 tahun lalu ini pengunjung bisa meminta giling kopi di tempat sesuai selera.
Di tengah perkembangan dunia pariwisata modern, keberlanjutan kawasan heritage di kota Malang menjadi potensi museum hidup. Pengunjung tidak saja mendapatkan kesejukan mata atas jejak bangunan bersejarah, namun juga memperkaya pengetahuan dan kesadaran identitas bangsa.
Di sisi lain, kedatangan wisatawan adalah sumbangsih berharga bagi keberlanjutan warisan kuliner lokal yang bersahaja.