Surat itu tiba, dengan seperangkat alat shalat. “Nak baik-baik disana, ingat tuhanmu”. -ibu-
Semenjak rindu menjadi bahasa paling sunyi, aku gemar berkata-kata. Pergi dari keramaian, menyusuri kesunyian. Meski pun lelah, tapi rindu ini enggan untuk mengalah. Ia masih saja berlarian di pikiran dan perasaan yang membuat detak dan detik kian meresah. Pelarian yang tak pernah aku inginkan namun tak ada pilihan, menjadikan sebuah harapan.
Gemerlap ibu kota menyeret aku dengan paksa menjadi bagian di dalamnya. Hidup serba ada dan bergelimang harta menjadi mimpi yang aku dan mungkin para perantauan bawa dari kampung halaman. Hingga aku mendapati dua sisi pemandangan yang tak sama saat berkeliling. Bagaikan ekspektasi dan realita kehidupan di kota yang diimpikannya.
Waktu terasa begitu cepat berlalu disini. Lalu lalang manusia menjadi pertanda kesibukan ibu kota. Jalanan dan tranportasi publik tak pernah kesepian pengunjung. Seolah hidup hanya untuk hari ini, Jakarta tak pernah tidur. Hingar bingar dunia malam menjadi hal yang tak terpisahkan.
Pahit manis kehidupan ibu kota aku telan mentah-mentah. “Aku ingin jadi pilot”, “aku ingin jadi dokter”, “aku ingin jadi presiden”. Serta keinginan lainnya hilang seketika dalam memori yang aku sebut ingatan. Impian itu kian semu, bak fatamorgana.
Teks dan foto oleh: Adi Maulana Ibrahim
- Fotografer yang hobi masak dan makan bakso. Belajar fotografi sejak kuliah bersama kawan-kawan komunikasi Photo’s Speak di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Bercita-cita bisa keliling Indonesia.