Tugas jurnalistik memungkinkan diri untuk merekam kawasan prostitusi yang disebut paling populer di Asia Tenggara; Gang Dolly. Puluhan rekaman foto pada dekade 2008 bersemayam damai, unpublished. Saat itu saya mengantar Massimo Mastrorillo, fotografer Italia, pemenang pertama kategori ‘nature’ – foto tunggal, World Press Photo 2006. Entah bagaimana ceritanya, Massimo sampai tahu informasi tentang gang Dolly.

Gang Dolly berada di Jalan Kupang Gunung Timur, Surabaya. Di malam minggu yang cerah pada 26 Juli 2008 kami menyusuri sejumlah wisma, atau tempat orang melakukan transaksi seks komersial. Beberapa penjaga wisma menyambut kami tanpa ragu, sementara lainnya tidak bersedia untuk kami rekam dan wawancara.
Melalui kontak aktivis setempat, kami mendapat akses untuk masuk ke ruang-ruang privat para pekerja seks tersebut. Massimo memotret wajah-wajah, sambil sesekali berbincang. Sementara saya memilih berjarak untuk memotret wajah-wajah.
Di Jalan Jarak pada tahun 2008 (kawasan prostitusi lainnya yang hanya berjarak kurang dari 1 kilometer dari gang Dolly), situasinya nyaris seperti kampung umumnya. Anak-anak bermain di sore hari di dekat wisma. Maka, untuk melindungi privasi mereka saat itu, saya memotretnya dengan kecepatan rendah. Atau dari sudut yang tidak memperlihatkan wajahnya dengan jelas.

Waktu menggulung cepat. Empat belas tahun kemudian, di bulan Juli 2022, saya secara mandiri merekam kawasan Dolly yang telah ditutup oleh pemerintah kota Surabaya pada 2014. Gagasan utamanya adalah merekam kondisi gang Dolly di masa kini, saat kawasan ini dengan susah payah bangun dari stigma lama sebagai kawasan merah di Surabaya.
Imaji-imaji masa lalu kawasan merah ini memang masih tersimpan di beberapa titik. Namun perubahan besar telah terjadi. Sebuah lapangan futsal bekas sebuah wisma menjadi tempat berkumpul remaja. Firda, siswi kelas 7 yang saya temui bersama beberapa temannya mengaku hampir tiap hari bermain bola di lapangan tersebut. Firda cukup lincah menggocek si kulit bundar, beradu kaki dengan lawan main yang semuanya anak laki-laki. Lapangan futsal dengan matras empuk ini menjadi satu diantara fasilitas umum yang disediakan pemerintah kota Surabaya pasca penutupan kawasan lokalisasi Dolly.


Di ujung selatan gang Dolly, sebuah taman bermain didirikan. Menggantikan salah satu wisma besar di gang Dolly. Fery, warga Kupang Gunung Timur 1 mengatakan, lapangan futsal itu sendiri adalah bekas bangunan wisma Madonna. “Kalau taman bermain anak-anak di sebelah selatan itu bekas wisma Anggrek dan Wisma Gaza,” jelas Fery.
Di masa lalu, wisma adalah tempat hiburan dan pusat transaksi seks komersial. “Dahulu, tiap lepas maghrib, kampung (lokalisasi) ini mulai ramai. Musik keras terdengar sampai dini hari. Sekarang jauh lebih tenang,” kata Sugianto, anggota Linmas yang bekerja sejak 2014, pasca penutupan lokalisasi.


Di tengah isu yang datang dan pergi tentang bangkitnya kembali lokalisasi gang Dolly, anak-anak dan remaja di kawasan ini menikmati masa indah bermain, pagi dan sore. Sementara yang tersisa hari ini, sejumlah wisma berganti menjadi pusat industri kecil dan rumah tinggal. Sebagian lagi tutup, terbengkalai.
…
*Dilarang memperbanyak, mencetak dan atau menyebarluaskan foto-foto dalam tulisan ini tanpa izin dari Matanesia.