Matanesia.id – Yulianus Rettoblaut, atau yang lebih akrab disapa Mami Yuli merupakan seorang waria yang tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan. Dia mengaku pernah menjadi ‘anak’ Taman Lawang.
15 tahun bekerja di bawah remangnya lampu jalan Taman Lawang, aura Mami Yuli perlahan meredup. Pasalnya, para pelanggannya pergi dan beralih ke waria yang lebih muda.
Pensiun menjadi satu-satunya pilihan Mami Yuli. “Saya keluar dari dunia pelacuran karena sudah tidak laku lagi,” kata dia.
Saat menerima kenyataan tak lagi diminati pria hidung belang itulah Mami Yuli kemudian membuat titik balik dalam hidupnya.
Dia kembali ke gereja. Mendekatkan diri pada penciptanya dan berusaha bangkit dari kesuraman hidup yang selama ini dilaluinya.
Perlahan Mami Yuli juga kembali ke tengah masyarakat. Dia melibatkan diri dalam kegiatan sosial. Hingga akhirnya menjalani peran sebagai Ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia (FKWI).
Bersama komunitasnya itu, Mami Yuli mengajak waria-waria untuk membuat hidup yang lebih baik dibanding harus menawarkan jasa pemuas di tepi jalan.
Dia juga kerap berkunjung ke Taman Lawang untuk mengajak waria-waria lain mengikuti pelatihan keterampilan yang digelar FKWI bersama beberapa lembaga.
Di tengah misi sosialnya itu, Mami Yuli pun berusaha menjalani peran sebagai seorang ibu. Layaknya seorang wanita, dia hidup mengurus empat anak hasil adopsi dari beberapa saudaranya.
Berjalan memperbaiki hidup bagi Mami Yuli tak hanya lepas dari dunia hitam, tapi juga dengan memberi cahaya untuk saudara-saudaranya. Seperti yang dia beri pada empat anak asuhnya sejak mereka bayi.
“Dua anak laki-laki saya sudah duduk di bangku SMA dan yang nomor tiga masih SD. Sementara paling kecil ini berusia tujuh bulan,” tutur Mami yuli sambil menimang Maria, anak bungsunya.
Mengingat lintasan hidupnya yang pernah kelam, Mami Yuli mengaku tak pernah terbayang akan menghabiskan masa tua dengan mengurus anak. Dia hanya dapat menyebut hidupnya saat ini sudah ditakdirkan Tuhan kepadanya.
“Saya tak pernah menyangka. Ya mungkin inilah kuasa Tuhan,” kata dia.
Proyek foto ini dibuat pada 2018-2019 yang menjadi bagian dari Permata Photojournalist Grant 2018.