Dari waktu ke waktu, juru foto membangun hubungan dengan berbagai lapisan masyarakat. Baik untuk urusan profesional atau sekadar menjaga komunikasi. Tak peduli bagi juru foto berpengalaman atau yang baru menapak karir, mendapatkan akses atau izin sebuah pemotretan adalah separuh pekerjaan. Dibutuhkan sejumlah persiapan teknis hingga hal-hal yang bersifat personal untuk setiap pemotretan.
Dalam penugasan atau proyek pribadi, juru foto tak selalu mendapatkan jalan mulus untuk memotret subyek atau sebuah tempat. Karena alasan tertentu, kepentingan narasumber atau sebuah institusi seringkali tak sejalan dengan hak publik memperoleh informasi lewat pemberitaan.
Maka, seni membangun komunikasi dengan tujuan mendapatkan akses pemotretan berperan besar dalam hal ini. Sebab, suka atau tidak, kesuksesan pemotretan juga disumbangkan oleh keberhasilan membangun komunikasi yang berujung kepada kepercayaan narasumber atau penghubung narasumber.
Memotret orang atau sebuah komunitas masyarakat dengan ‘kesadaran kamera’ memang memudahkan kinerja juru foto. Sementara, upaya pendekatan awal terhadap subyek baru di kawasan tertentu tak jarang menguras waktu, tenaga dan tentu saja biaya.
Berbagai Pendekatan
Tiap juru foto punya cara dan alasan tertentu dalam menyiapkan dan menyikapi proses pemotretan. Albertus Vembrianto, fotografer lepas dokumenter berbasis di Papua, mengatakan, langkah awal sebelum memotret adalah mencari dan mengumpulkan informasi secukupnya terkait isu cerita disamping informasi lokasi, detil tempat dan komunitasnya. “Upaya-upaya itu perlu dilakukan dengan tujuan menemukan orang yang bisa membantu mencari dan mendekat pada narasumber, sekaligus menemukan orang-orang yang memiliki wewenang terkait izin,” katanya.
Meski demikian, Vembrianto tak melulu menempatkan perizinan pada prioritas tertinggi proyek fotonya. Isu-isu penting dan berpotensi memberi pengaruh bagi kehidupan kebanyakan masyarakat menjadi pertimbangan tersendiri. “Menimbang bahwa operasi institusi itu berdampak pada kehidupan orang banyak, bagi saya, perkara izin bukanlah prioritas,” kata juru foto yang banyak mengerjakan cerita independen ini.
Bagi Bahana Patria Gupta, juru foto Harian Kompas, menguasai banyak informasi terkait calon narasumber adalah pintu masuk keakraban yang berujung pada komunikasi dan akses yang lancar terhadap calon narasumber. Sementara akses perizinan peliputan tetap menjadi prosedur standar. “Sebagai staf sebuah institusi media, prosedur perizinan masih menjadi prioritas, diantaranya surat tugas peliputan. Hal ini menyangkut terhadap pertanggjawaban karya jurnalistik,” jelas juru foto yang gemar mendongeng dengan boneka untuk anak-anak ini.
Sebagai staf media arus utama, Bahana kerap bertugas di berbagai tempat, baik di Indonesia maupun luar negeri. Merawat hubungan dengan kontak atau narasumber juga menjadi bagian kinerja jurnalistiknya. “Sebagai juru foto, kemungkinan bertemu kembali dengan kontak atau narasumber lama sangat mungkin terjadi untuk sebuah penugasan lain. Menjaga komunikasi dengan sapaan melalui aplikasi percakapan daring, adalah salah satu cara menjaga hubungan,” jelas Bahana.
Romi Perbawa, fotografer dokumenter yang dikenal luas dengan proyek foto jangka panjang tentang joki cilik di pulau Sumbawa, percaya bahwa akses pemotretan adalah pintu yang terkunci rapat dari publik. “Harus diakui, di luar urusan-urusan teknis izin sebuah pemotretan, privilege (hak istimewa) biasanya dipunyai oleh seorang fotografer untuk mendapatkan akses pemotretan,” kata author buku foto ‘Au Loim Fain’ yang berisi foto dokumenter tentang Pekerja Migran Indonesia ini.
Bagi Romi, saat harus bolak-balik ke lokasi yang jauh dari tempat tinggalnya di Jawa Timur menuju lokasi narasumber di pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur misalnya, adalah harga yang harus dibayar untuk membangun hubungan disamping melengkapi kebutuhan cerita.”Namun demikian, bagi saya etika nomer satu. Privasi narasumber harus dijaga, termasuk menyiapkan model release bagi sejumlah subyek foto saya,” jelas pria kelahiran Kutoarjo, Jawa Tengah ini dalam diskusi foto di kampus STIKOSA AWS.
Di bagian lain Vembri menambahkan, dalam upaya membangun kepercayaan narasumber, dirinya meyakini bahwa pandangan juru foto, tindakan dan ucapan dalam proses pengumpulan cerita berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan dan sikap narasumber.
“Saya selalu punya rencana kembali ke sebuah lokasi liputan karena penugasan, terlebih jika isunya menjadi bagian dari proyek personal saya. Saat berpamitan dengan narasumber (di Papua), saya selalu bilang, “Mama atau bapa, bantu doa ya, semoga saya ada berkat (rezeki) biar bisa kembali ke sini, untuk dengar lebih banyak cerita-cerita dari mama-bapa, bisa ikut pergi kebun, panen ubi, atau berburu, ” jelas penerima penghargaan karya terbaik dalam Permata Photojournalist Grant 2018 ini.
Vembri menambahkan, biasanya dia membawa “oleh-oleh” untuk komunitas dimana dirinya mengerjakan pemotretan. “Di kawasan yang aksesnya sulit, saya akan memberikan bola kaki atau bola voli kepada tokoh pemuda yang bisa mengatur pemakaian bola, agar bisa dipakai secara terbuka oleh publik di komunitas tersebut. Tentu saya akan memberikan bola setelah saya memahami peta relasi di komunitas. Jangan sampai pemberian bola justru menjadi pemicu konflik dan kecemburuan dalam komunitas,” imbuhnya.
Komunikasi dan empati yang dibangun juru foto dalam jangka panjang memang akan berujung kepercayaan tinggi narasumber. Meski demikian, perkenalan singkat yang simpatik bisa juga berbuah manis.
Lewat kamera digital dengan cetakan langsung, Beawiharta, pencerita visual, kerap mendapatkan momentum terbaiknya saat berhubungan dengan tiap orang di jalanan. Mantan pewarta foto kantor berita asing Reuters ini segera memberikan hasil cetakan foto cuma-cuma kepada subyek lalu mengunggahnya dalam akun Instagram. Sebuah cara membangun kepercayaan dan penghargaan kepada narasumber yang dia beri tagar #dontjusttakeGIVE
Privilege, dalam konteks positif, memang menjadi ‘rahasia’ masing-masing juru foto atau lembaga penerbitan. Sulit untuk dirumuskan, karena masing-masing narasumber memerlukan cara dan pendekatan berbeda. Maka membangun reputasi lewat kinerja yang mumpuni dan menghargai kepercayaan narasumber adalah investasi berharga. Alih-alih berharap privilege turun cuma-cuma dari langit.
Mamuk Ismuntoro, Fotografer, Pendiri Matanesia
Featured image : Soesilo Toer, sastrawan, adik dari sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Lulusan doktor di Uni Soviet ini masih aktif menulis dan mengelola penerbitan serta Perpustakaan Pataba, di rumah masa kecil Pramoedya di Blora, Jawa Tengah. Mamuk Ismuntoro/Matanesia