Bermula dari fotografi jalanan, potret, hingga still-life, Bimo yang belajar fotografi secara otodidak sejak SMP lalu kuliah formal fotografi, kini menekuni fotografi tanpa menggunakan kamera dengan teknik cetak tua.
Bimo masih SMP saat saya didapuk menjadi kurator sebuah pameran foto yang digelar oleh kawan-kawan CLICK, komunitas fotografi di Kota Kediri yang anggota-nya sebagian besar masih berstatus pelajar SMP & SMA, juga ada yang masih kuliah. Pameran yang digelar di sebuah café pada 2010 tersebut awal pertemuan kami, setelah itu kami beberapa kali bertemu dalam sejumlah event fotografi.
Pada 2018 setelah lama tak bersua karena Ia melanjutkan studi di Kota Surakarta, Bimo tiba-tiba hadir kembali saat kami (saya dan Adhi Kusumo) membuka penerimaan murid angkatan pertama Kelas Pagi Kediri. Dari sana saya tahu ia sudah di masa akhir studi S1 fotografi dan sedang menyiapkan tugas akhir.
Berikut wawancara selengkapnya:
Ceritakan tentang dirimu, apa latar belakangmu?
BIMOWISNUATMOJO biasa dipanggil Bimo atau Gelapekat (sesuai akun Instagramnya – red), saya asli probolinggo Jawa Timur dan sudah berdomisili di Kota Kediri, Jawa Timur sejak tahun 2002 hingga saat ini. Saya menggeluti fotografi sejak tahun 2010 disokong oleh kawan-kawan komunitas lokal di Kota Kediri, dan 2014-2019 studi akademis fotografi di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Bergelut di dunia seni fotografi yang diawali dari hobi semata hingga ke dunia penciptaan karya fotografi sebagai medium di keseni-rupaan.
Deskripsikan secara singkat proyekmu dan dari mana inspirasinya?
Konsentrasi karya fotografi yang saya lakukan merupakan bentuk-bentuk eksperimental ekspresif seperti halnya old print, mix media fotografi, hingga bentuk karya fotografi sebagai medium instalasi dimana proses itu terjadi saat saya menempuh pendidikan S-1 di ISI Surakarta.
Awalnya saya fokus pada karya foto konvensional seperti street, portrait, still life, dan sejenisnya. Namun seiring semakin berkembang literasi dan referensi yang membuat saya mengeksplore lebih dan bereksperimen dengan medium yang bervariatif. Hingga akhirnya saya tertarik dan fokus untuk mengeksekusi Old Print Photographic Process terutama teknik photogram. Hasilnya foto-foto yang pernah saya tampilkan pada pameran tunggal di SK Coffee Lab, Kota Kediri, Jawa Timur, 2018 silam.
Jelaskan praktik fotografi dan prosesmu?
Secara gambaran singkat saat membuat visual fotografis dengan teknik ini saya merasa lebih ekspresif dalam membuat karya fotografi, karena tidak hanya mendokumentasikan suatu kejadian semata, tapi juga halnya bisa memunculkan nilai estetis yang berbeda dari permainan melukis dengan cahaya pada secarik kertas foto sensitif cahaya. Photogram mampu menciptakan visual dengan proses fotografi tanpa kamera, dan memanfaatkan objek-objek sekitar demi memunculkan imaji yang menarik dari segala prosesnya. Selain photogram, saya juga menggeluti teknis cetak tua yang lain seperti cyanotype dan lumen print.
Renjana Imaji merupakan tajuk yang saya gunakan saat pameran tunggal di series karya photogram saya. Pameran ini menceritakan tentang pribadi saya yang berproses dari bentuk perkembangan-perkembangan yang sudah terlalui, objek-objek yang ada pada setiap visual yang saya tampilkan sebagai bentuk simbolis visualisasi dari gagasan atau ide yang saya tuangkan.
Siapa pengaruh (idola) terbesar Anda? Kenapa?
Dibalik literasi dan referensi visual yang saya pelajari ada satu tokoh panutan yang sangat berpengaruh bagi saya dalam karya-karya fotografisnya yang menginspirasi proses saya yakni Henri Cartier Bresson. HCB mampu membekukan momen dengan sangat apik serta permainan komposisi-komposisi pas yang dia gunakan. Dibalik foto-fotonya yang mendokumentasikan momen, ia juga memberikan wacana sense of artyang menambah nilai keunikan dalam visualnya dan hal-hal tersebut yang juga pernah mendasari proses fotografi saya. Pada bidang kesenirupaan, selain giat di medium fotografi, saya saat ini juga menggeluti bidang kolase dan juga mix media.
Apakah ada buku atau film (atau karya seni lain) yang menjadi sumber inspirasi yang penting?
Dalam penggalian mencari inspirasi menciptakan karya, selain membaca, saya juga mencari referensi visual, hingga diskusi dengan lingkungan sekitar, tidak kalah sering juga mendapatkan banyak sumber inspirasi visual melalui film, seperti film dokumenter Samsara dan Baraka yang menampilkan visual dengan berbagai komposisi, estetika, dan simbol-simbol semiotik didalamnya.
Saya juga mengagumi film fiksi khususnya bergenre fantasy seperti Avatar, Lord of the Ring dan sejenisnya yang menawarkan ide ide imajinatif khayalan yang menarik, hingga film eksperimental konseptual yang tentunya dari filmmaker favorit saya Alejandro Jodorowsky. Salah satu film buatannya yang fenomenal The Holy Mountain (1973) menawarkan simbol-simbol dan set-up yang sangat estetis konseptual dan “berani nakal”.
Apakah kamu punya ritual tertentu atau playlist lagu tertentu saat berkarya? Jelaskan kenapa?
Kebiasaan-kebiasaan saat hendak memulai atau ditengah-tengah proses berkarya antara lain selain sambil makan berat, (saya) juga menonton serial anime untuk meningkatkan mood dan cooldown ketika (mengalami) artblock dan bahkan dari situ (saya) juga menemukan hal yang menarik secara spontan yang bisa diaplikasikan di dalam karya yang saya buat.