Dalam jeda sebuah penugasan non editorial saya biasanya mencoba memanfaatkan waktu untuk sekadar mencicipi masakan khas di kota setempat. Dalam lawatan di Tuban akhir pertengahan Juli 2023 lalu misalnya, kelar penugasan saya tancap gas setelah istirahat dan preview hasil pemotretan. Kali ini, selain menuntaskan rasa penasaran atas masakan pesisir pantura, saya membagi waktu yang sempit dengan memotret apa yang saya anggap menarik di sebuah kota.
Kunjungan super singkat di Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur menjadi pilihan. Kawasan yang terkenal dengan masakan khas becek mentog dan becek sapi ini juga menyimpan kisah besar dan terkenal ; batik gedog.
Beberapa penerbitan buku telah mengulas tentang Kerek dengan warisan kejayaan tenun dan batik gedog. Namun, hasil riset terakhir di lokasi, Arief Priyono, fotografer, punya pandangan menarik. “Saya punya asumsi, dalam beberapa tahun mendatang penenun kain gedog di Tuban bakal punah,” kata Arief, fotografer yang baru saja diganjar honorable mention dalam ajang Innovate Artist Grant – Spring 2023.
Ungkapan Arief masuk akal. Dalam percakapan dengan Tarsiyem, 80, salah satu penenun, generasi muda di desa Kedungrejo sudah tidak tertarik belajar mengolah kapas menjadi benang, apalagi menenun. “Lebih banyak pendapatan dengan menjadi buruh tani, sehari bisa dapat seratus ribu. Mengolah kapas menjadi benang seperti ini hanya dapat 20 ribu rupiah sehari,” jelasnya.
Mulai Merekam
Setelah menikmati kopi di bibir kolam penampungan air desa Kedungrejo yang berangin kencang, saya beranjak mengikuti jejak Arief dan beberapa kawan dari Rekam Tuban yang tengah ‘hunting bareng’. Rupanya saya kehilangan posisi mereka. Maka saya jalan sendirian. Lensa fixed Nikkor AF 35mm yang terpasang di kamera sejak siang harus beranjak dari mager, pikir saya dalam hati. Daripada perut kembung karena terpapar angin di pinggir embung.
Ya, pengalaman menggunakan lensa fixed 35mm datang lagi hari itu. Seingat saya, pernah menggunakan lensa jenis ini belasan tahun lalu. Konon, lensa jenis ini sering digunakan oleh fotografer dokumenter (masa lalu). Entah dengan generasi melihat masa kini.
Lensa fixed memang membuat pemotret harus bisa menyesuaikan jarak pemotretan. Kapan mesti maju atau mundur beberapa langkah untuk mencapai elemen-elemen gambar yang diinginkan. Terlebih, lensa fixed 35mm tergolong tidak terlalu lebar, layaknya jangkauan lebar pandangan manusia yang menghasilkan gambar-gambar ‘lebih nyata’, tidak menghasilkan perspektif yang distortif.
Lalu, pilihan kontrol cahaya manual menjadi pilihan di beberapa situasi dengan pencahayaan rendah. Sesekali opsi pilihan pencahayaan otomatis cukup membantu untuk kondisi pencahayaan aman.
Sejumlah jepretan di sudut-sudut desa cukup untuk mengisi waktu menunggu teman-teman yang tak kunjung nongol. Saya (kembali) berteduh di saung (gazebo) sambil memperhatikan foto-foto yang telah terekam.
Maksud hati memang ingin mendapatkan gambar-gambar berkarakter non editorial, namun tetap saja, hati dan jemari sering tak sinkron. Maka yang ada adalah foto-foto sedemikian rupa ‘editorial approach’. Ya sudahlah, yang penting sudah menuntaskan jeda berfaedah.
Dalam perjalanan pulang usai kunjungan singat di desa Kedungrejo, teman-teman Rekam Tuban mengusulkan untuk makan malam (yang dini) di sebuah kedai. Waktu masih jam 5 sore saat kami datang di Bale Rasa yang terletak sekitar 8 kilometer dari pusat kota Tuban. Situasi kedai yang asri, tertata sangat rapi dengan bangunan kayu khas Jawa justru membuat tidak yakin bagaimana rasa masakannya. Sebab, biasanya tempat yang ‘terlalu rapi’ seperti ini sangat pede dengan urusan mata, namun tak jarang melupakan urusan lidah yang sebenarnya.
Rupanya saya salah. Ternyata enak! Meski buru-buru disanggah Ghofur Eka, teman Rekam Tuban, yang mengatakan lebih enak olahan makanan di warung biasa, tempat kami makan sebelumnya di dekat pabrik semen.
Jeda pemotretan dengan jelajah kuliner memang bisa menyembuhkan penat dan letih. Tapi jangan keterusan. Selain bukan urusan jalan-jalan, juga ada deadline (baca: tagihan) yang sudah menanti. Ayo kerja (dan ngopi) lagi!