Ketika berusia 7 tahun, Diana Markosian harus meninggalkan kampung halamannya Moskow menuju sebuah daerah baru bernama California untuk memulai hidup tanpa seorang ayah. Tidak hanya kehilangan sosoknya, bahkan rupa ayahnya yang terekam dalam foto-foto keluarga telah direnggut oleh ibunya, dengan memotongnya dan menyisakan lubang yang membentuk garis tubuhnya. Perceraian telah membuat ia, kakak laki-lakinya dan ibunya – yang tanpa penjelasan sebelumnya membawanya kabur ke Amerika – harus berpisah dengan ayah, sebelum genap usianya sewindu.
Usaha ibunya untuk menghapus ingatan – dengan memotong foto-foto ayahnya – justru membuat Markosian semakin ingat dan bertekad untuk kelak bisa berjumpa kembali dengannya. Pada 2013, setelah 15 tahun berlalu, Diana Markosian akhirnya berjumpa ayahnya di Armenia, di mana keluarganya dulu pernah tinggal beberapa saat dan sekarang menjadi tempat sang ayah menetap. Sebelum perjumpaan itu, selama dua tahun mereka mempersiapkan diri dengan berkorespondensi. Ayah Markosian seorang penulis, dan ia yang saat itu bekerja untuk Reportage by Getty Images, mendokumentasikan perjalanan hingga perjumpaan tersebut dalam sebuah esai foto yang menggetarkan: “Infenting My Father”.
Esai foto ini dibuka dengan sebuah repro foto keluarga, Markosian kecil ditengah, diapit ibunya dan tangan ayahnya yang memegang tubuh mungilnya agar tetap tegak. Namun, sang ayah tampil tanpa wajah, tanpa tubuh yang utuh, hanya lubang yang menjadi penanda bahwa ia pernah hadir dalam momen tersebut. Sebuah penegasan bahwa perjumpaan ini adalah untuk menggenapi lubang itu, lubang kenangan yang telah direnggut oleh ibunya saat ia masih kanak-kanak.
Setelah diterbitkan oleh sejumlah publikasi terkemuka, diantaranya Time.com pada 11 Juni 2014 untuk peringatan Hari Ayah (http://time.com/3809867/fathers-day-inventing-my-father/), ternyata proyek foto Diana Markosian tentang sang ayah masih juga berlanjut pada 2016. Berupa sebuah serial foto pagi hari interaksi antara Markosian dan sang ayah yang diramu dengan video kenangan kebersamaan mereka pada masa sebelum berpisah dan repro (atau scan?) foto-foto lama. Ia memberinya judul Morning (With You)
Kisah hampir serupa juga muncul dari fotografer Aftonun Nuha (Melihat Bersama) dengan judul: “Memorabilia of A Stranger”. Kisah tentang sang anak yang (bahkan) tak pernah mengenal dan melihat ayahnya secara realitas. Ia hanya mendengar kisahnya dari sang kakak, ibu, atau saudara yang pernah dekat sang ayah. Ada dua kata yang sepakat mereka sematkan pada sosoknya: cerdas dan penyayang.
Proyek foto Aftonun pada kenangan sang ayah berpijak pada pernyataan Mahatma Gandhi: laki-laki adalah produk pikirannya. Apa yang ia pikir, maka jadilah ia. Dengan itu, Aftonun mengumpulkan benda-benda kenangan sang ayah – yang menandakan peninggalan berkaitan dengan kegiatan intelektual – mulai dari mesin ketik, kaca mata baca, buku catatan, surat peminjaman buku perpustakaan, pin, dasi, koper, jas, peci hitam, hingga selembar ijazah bertanggal 12 Mei 1972 yang menandakan sang ayah (Muhdi Ichwan) lulus dari IAIN Sunan Ampel – Surabaya dengan gelar Doctorandus dari jurusan Perbandingan Agama.
“Sebagai seorang pria yang dibesarkan tanpa figur ayah, seri foto ini adalah cara saya untuk mengenalnya. Tidak hanya dengan mendengar dari cerita orang lain yang mengatakan kepada saya tentang siapa dia dan bagaimana dia. Saya ingin membangun persepsi saya sendiri tentangnya ” begitu kata Aftonun Nuha dalam pengantar foto esai ini.
Tentu Nuha berhak membentuk persepsinya sendiri tentang sosok sang ayah. Begitu juga saya – yang beberapa kali berdiskusi dengannya soal sang ayah – membangun persepsi saya. Dalam sebuah kelakar saya pernah menggoda Nuha dengan imajinasi saya bahwa sang ayah mungkin adalah agen intelejen, sehingga musti melakukan penyamaran dan terpaksa meninggalkan keluarganya. Nuha hanya diam saja mendengar spekulasi saya. Kadang fantasi saya lebih tragis, mungkin sang ayah adalah tokoh pergerakan sehingga penguasa saat itu berkepentingan untuk “menghilangkan-nya”.
***
Dalam intensi yang hampir sama, Kurniadi Widodo membuat “Surat Untuk Bapak” yang menjadi bagian dari FLOCK sebuah proyek bersama penerbitan buku foto dari tiga fotografer; yang dua lainnya Aji Susanto Anom dan Arif Furqan.
Dibuka dengan sistem pre-order pada 18 Mei 2016, proyek buku foto yang rencananya berseri ini diterbitkan secara independen. Dengan harga Rp 180.000, selain tiga buah buku foto dari masing-masing fotografer, paketnya meliputi sebuah poster, sembilan kartu pos dan sebuah buku narasi pengantar yang dilengkapi oleh esai Lucia Dianawuri.
Bukan karena alasan bahwa karya Wid (panggilan Kurniadi Widodo) lebih baik dari Aji Susanto Anom atau Arif Furqan (saya pikir semua fotografer telah menampilkan yang terbaik), lebih karena saat membaca buku foto “Surat Untuk Bapak” saya seketika teringat pada dua karya esai sebelumnya: Infenting My Father dan Memorabilia of A Stranger. Kebetulan juga, Wid adalah teman sekelas saya saat mengikuti training of trainer fotografer di PannaFoto Institute – Erasmus Huis pada 2013 dan 2014. Jadi, kalaupun saya lancang menafsirkan karya fotografinya (seandainya salah) bisa dimaafkan 😀
Dibuka dengan sebuah puisi:
Ia pergi begitu saja secara tiba-tiba, tanpa memberi pertanda, tanpa meninggalkan pesan.
Ia hanya sempat menyirami tanaman-tanaman di halaman rumah kami.
Sebuah puisi yang dingin. Mungkin mencerminkan hubungan Wid dan sang ayah semasa masih ada di dunia. Saya menemukan ketidak-akraban (maafkan saya kalau salah). Namun toh semua terjawab dalam tiga lembar surat yang ditulis tangan oleh Wid yang ditempel sebagai bagian presentasi dari buku foto, yang jujur saya baca belakangan.
Yang keren menurut saya adalah Wid tidak tertarik untuk menguak hal-hal besar yang pernah dilakukan oleh ayahnya, yang dari foto-foto lama yang ikut disajikan sangat mungkin seorang birokrat di masa masih aktif bekerja (sebuah foto menampilkannya menandatangani setumpuk kertas di meja kerja, dengan dua mesin telepon di atasnya , botol air mineral dan sebuah gelas dan dua buah kursi tamu kosong). Alih-alih Wid menampilkan bunga-bunga di halaman mereka yang dulu dirawat ayahnya usai masa pensiun dan menetap di Yogyakarta hingga beliau meninggal – Wid tidak bercerita kehidupan dan asalnya sebelum keluarganya memutuskan membeli sebuah rumah dan menetap di Yogyakarta setelah ayahnya memasuki masa pensiun.
Saya membayangkan, sosok ayah Wid lebih akrab pada bunga-bunganya dan lebih banyak menghabiskan waktu – walaupun pada sebuah momen sekedar memandangnya dari ruang tamu pada malam hari – daripada dengan Wid. Itulah kenapa Kurniadi Widodo membuat proyek foto ini: sebagai upaya mendekati kehidupan sang ayah dan medium agar bisa lebih mengenalnya.
Sajian utama dalam buku foto ini adalah seri foto dalam format hitam putih berbagai jenis tanaman peninggalan “bapak”. Sampai disini kemampuan fotografi still-life Kurniadi Widodo seperti kecenderungan proyek-proyek foto sebelumnya patut diapresiasi dengan menyuguhkan mood yang kontemplatif, kadang-kadang terbangun suasana mistis karenanya. Saya menduga Wid berusaha membangun komunikasi batin dengan ayahnya dengan menampilkan seri foto ini (saya jadi teringat sosok Zarah yang memburu jamur agar terhubung dengan sosok ayahnya yang hilang; Firas dalam serial populer Supernova).
Selebihnya Wid menampilkan tiga buah foto kenangan masa kecilnya bersama “bapak” yang ia deskripsikan sebagai masa-masa dimana mereka masih akrab. Sebuah foto masa sang ayah masih bekerja dan foto penutup saat Wid memotret ayahnya secara candid sedang menyirami tanaman-tanamannya di halaman rumah. Dan tentunya sebuah surat bertuliskan tangan yang terdiri dari tiga lembar.
Seperti Diana Markosian, saya berharap Kurniadi Widodo tidak berhenti sampai di sini untuk mengerjakan proyek foto tentang ayahnya. Bagaimanapun, pengalaman-pengalaman hidup seperti Wid, Markosian, hingga Aftonun Nuha tentu bisa dialami oleh siapa saja. Membuat sebuah proyek fotografi seperti mereka adalah sebuah bentuk respon atau penyikapan, juga mungkin pencarian. Bukan untuk mengumbar privasi, tapi lebih untuk berbagi (juga healing mungkin).
Lewat tengah malam saat hampir tiba dipenghujung tulisan ini, saya menyeduh secangkir kopi. Saya membayangkan bagaimana Wid merindukan sang ayah, berharap mesin waktu kembali, dan membuat mereka “sempat” berbincang akrab sebagai seorang teman…
*Review ini ditulis oleh Arief Priyono pada 2016 dan pernah ditayangkan di halaman Brantas Photo Forum. Ada sujumlah editing minor disesuaikan dengan konteks terkini.